Peristiwa Gempa di Sulteng meninggalkan banyak kejutan. Hilangnya sebagian besar pemukiman di Petobo hingga terjangan tsunami yang menghancurkan kota Palu.
Diperparah dengan adanya aliran lumpur yang keluar dari dalam tanah. Menyebabkan hampir seluruh bangunan di Palu porak poranda baik di daerah pesisir maupun kawasan pemukiman.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, NASA menyebutkan kalau gempa tersebutlah menyebabkan lapisan tanah yang basah dan lumpur keluar dari dalam tanah. Hal ini lumrah terjadi di wilayah dekat sungai, tanah reklamasi dan daerah yang relatif datar.
Tapi yang menjadi keheranan bagi para ilmuwan adalah tsunami yang terjadi setelah gempa. Jika dibandingkan dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004 silam, maka seharusnya gempa di Donggala tidaklah menimbulkan tsunami.
Menurut ilmuwan NASA, gempa di atas 8 skala richter dengan perpindahan secara vertikal yang dapat memicu tsunami. Namun yang terjadi di Donggala tidak demikian sebab hanya terjadi di pertemuan lempeng yang datang dan berefek horizontal.
Mereka pun menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadi erosi tanah di bawah laut saat gempa itu terjadi. Energi yang muncul akibat longsor itu menyebabkan terjadinya tsunami.
Bentuk Teluk Palu yang sempit dan berbentuk jari membuat gelombang tsunami semakin membesar ketika sampai ke bibir pantai. Bergerak cepat dan jauh lebih berbahaya.
Seandainya hentakan longsor di dalam laut itu lebih besar maka ada kemungkinan ketinggian gelombang tsunami pasti akan sangat mengerikan dan menghancurkan.